Hubungan Antara Asesmen Kebutuhan, Pengambilan Keputusan, dan Manajemen Berbasis Sekolah

Menurut UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pada bagian penjelasan pasal 51 ayat 1, MBS didefinisikan sebagai “bentuk otonomi manajemen pendidikan pada satuan pendidikan, yang dalam hal ini kepala sekolah atau madrasah dan guru dibantu oleh komite sekolah atau madrasah dalam mengelola kegiatan pendidikan”. Tilaar berpendapat bahwa inti dari MBS adalah partisipasi masyarakat (Irawan, dkk, 2004), dan pendapat tersebut sangat masuk akal sebab komite sekolah yang menjadi instrumen kunci dalam implementasi MBS memang terdiri dari elemen-elemen yang merupakan bagian dari masyarakat itu sendiri, misalnya seperti orang tua peserta didik dan masyarakat yang tinggal di sekitar sekolah.

Dasar hukum pelaksanaan MBS adalah UU No. 20 Tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional pasal 51 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah dilaksanakan berdasarkan standar pelayanan minimal dengan prinsip manajemen berbasis sekolah atau madrasah”. Legalisasi pelaksanaan MBS juga termuat dalam peraturan turunan undang-undang sistem pendidikan nasional, yaitu dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan pasal 49 ayat 1, “Pengelolaan satuan pendidikan pada jenjang pendidikan dasar dan menengah menerapkan manajemen berbasis sekolah yang ditunjukkan dengan kemandirian, kemitraan, partisipasi, keterbukaan, dan akuntabilitas”. Sementara itu, Depdiknas memberikan 10 alasan dibalik pemberlakuan kebijakan MBS, sebagaimana berikut (Irawan, dkk, 2004):

1. Bila sekolah memiliki otonomi yang lebih besar maka sekolah akan lebih leluasa dalam mengekspresikan keaktifan atau kreatifitasnya dalam meningkatkan mutu sekolah;
2. Bila sekolah memiliki fleksibilitas yang lebih besar dalam mengelola sumber dayanya maka sekolah akan lebih lincah dalam memanfaatkan sumber daya sekolah secara optimal untuk meningkatkan mutu sekolah;
3. Bila sekolah lebih mengetahui kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman yang ada maka sekolah dapat mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya yang tersedia dalam memajukan sekolah;
4. Bila sekolah lebih mengetahui input pendidikan lembaganya maka sekolah dapat mendayagunakannya dalam proses pendidikan sesuai dengan perkembangan dan kebutuhan peserta didik;
5. Pengambilan keputusan yang dilakukan oleh sekolah lebih cocok untuk memenuhi kebutuhan sekolah karena pihak sekolah yang paling tahu apa yang terbaik bagi sekolah;
6. Bila masyarakat sekitar sekolah mengontrol penggunaan sumber daya pendidikan maka penggunaannya akan menjadi lebih efektif dan efisien;
7. Bila seluruh warga sekolah dan masyarakat terlibat dalam pengambilan keputusan sekolah maka akan tercipta transparansi dan demokrasi yang sehat;
8. Bila sekolah bertanggung jawab secara langsung terhadap orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah, maka sekolah akan berupaya secara optimal dalam pelaksanaan pencapaian mutu pendidikan yang telah direncanakan;
9. Dengan dukungan orang tua peserta didik, masyarakat, dan pemerintah, maka sekolah dapat melakukan persaingan yang sehat dengan sekolah lainnya dalam meningkatkan mutu pendidikan melalui upaya yang lebih inovatif;
10. Sekolah dapat melakukan respon yang lebih cepat terhadap aspirasi masyarakat yang berubah dengan cepat.

Dari kesepuluh alasan yang dikemukakan oleh Depdiknas tersebut, dapat disimpulkan bahwa tujuan utama pemberlakuan kebijakan MBS adalah peningkatan mutu pendidikan melalui model pengelolaan sekolah yang lebih demokratis. Menurut Slamet PH (Irawan, dkk, 2004) secara empiris, memang MBS perlu diimplementasikan sebab model pengelolaan sekolah secara sentralistis yang telah cukup lama diterapkan terbukti kurang mengakomodasi kebutuhan sekolah, menumpulkan daya kreatifitas sekolah, dan mengikis habis sense of belonging warga sekolah terhadap sekolahnya.

Walaupun kebijakan mengenai implementasi MBS secara nasional baru ditetapkan pada tahun 2000 oleh pemerintah (Irawan, dkk, 2004), secara konseptual, MBS bukanlah hal baru di Indonesia. Sistem pendidikan pesantren, telah lama mengedepankan partisipasi masyarakat, bahkan sistem ini telah berlangsung selama berabad-abad sebelum Indonesia meraih kemerdekaannya. Santri yang belajar di pesantren diharuskan menginap dalam pondok-pondok yang biasanya berada di sekitar rumah kiai pemilik pesantren tanpa dipungut bayaran sepeser pun, sebab dalam agama Islam tidak diperkenankan untuk meminta bayaran atas penyebaran agama Islam. Sehingga pembiayaan pendidikan santri didapatkan oleh para kiai pemilik pesantren dari statusnya sebagai daerah perdikan atau waqaf dan juga mendapatkan hadiah berupa hasil panen dari orang tua santri maupun zakat yang dibayarkan oleh masyarakat sekitar pesantren pada kiai tersebut (Steenbrink, 1986). Bahkan setelah Indonesia merdeka pun, partisipasi masyarakat dalam pengelolaan lembaga pendidikan sangat kental terasa, seolah hal tersebut memang bagian dari kultur masyarakat di negeri ini. Sekitar tahun 1950-1960an, masyarakat bergotong-royong dalam pembangunan gedung-gedung sekolah yang rusak akibat peperangan dan juga merelakan rumah tinggalnya sebagai tempat belajar para peserta didik yang kehilangan gedung sekolahnya (Poerbakawatja, 1970). Sudjanto menambahkan bahwa pada masa itu, sekolah didirikan dan dikelola sendiri oleh masyarakat, namun setelah orde baru berkuasa, sekolah-sekolah tersebut digantikan oleh sekolah buatan pemerintah yang mengalihfungsikan sekolah sebagai alat hegemoni untuk indoktrinasi nilai-nilai yang dibawa oleh pemerintah orde baru (Irawan, dkk, 2004). Sehingga, nilai-nilai MBS versi lama ini pun akhirnya terkubur. Dan membangkitkannya kembali pada masa yang sekarang ini tidaklah semudah mengeluarkan kebijakan mengenai MBS, sebab hegemoni puluhan tahun yang telah mengebiri otonomi individu dan golongan membutuhkan waktu peralihan yang tidak sebentar menuju MBS yang berprinsip demokratisasi. Hal inilah yang menjadi alasan utama, mengapa implementasi MBS di Indonesia tidak berjalan sesuai dengan tujuan yang harusnya diraih. Namun dalam mencapai kesimpulan yang demikian, tentunya tidak hanya didasarkan pada asumsi belaka, faktor sejarah kemunculan konsep MBS di Indonesia, intervensi pihak asing melalui lembaga donor dalam pembiayaan implementasi MBS, budaya paternalistik bisu yang tertanam dalam masyarakat dan menghambat terjadinya praktek-praktek demokrasi (termasuk didalamnya MBS yang menjunjung tinggi prinsip demokrasi), serta faktor hegemoni sekelompok elit penguasa terhadap masyarakat di negeri ini, menjadi jalinan faktor yang terkait dan saling mempengaruhi satu sama lain. Sehingga dalam membahas permasalahan MBS, tidak dapat dilihat dari kacamata pendidikan belaka, sebab segala kebijakan pendidikan pada dasarnya merupakan keputusan politik (Supriadi dan Hoogenboom, 2003). Dan untuk mendapatkan pemahaman yang lebih utuh mengenai fakta-fakta yang terjadi dibalik penyimpangan implementasi MBS, pembahasan dalam makalah ini akan diawali dengan uraian sejarah kemunculan konsep MBS di Indonesia.

MBS yang merupakan terjemahan langsung dari school based management adalah sebuah konsep alternatif dalam pengelolaan sekolah yang muncul di Amerika Serikat pada tahun 1970-an. Konsep ini digunakan untuk menggantikan model pengelolaan sekolah yang selama puluhan tahun kinerjanya dianggap telah gagal dalam memenuhi tuntutan masyarakat sekolah akan perubahan (Irawan, dkk, 2004). Istilah MBS mulai diperdengarkan di Indonesia pada tahun 1994 pada sosialisasi kurikulum 1994 pada tenaga pendidik dan kependidikan. Capaian untuk menjadi Sekolah Mandiri yang mensyaratkan implementasi MBS pada masa itu belum dapat terpenuhi karena pemerintah tidak memonitor pelaksanaan program tersebut di lapangan (Soetikno, 2007). Jika dicermati, waktu kemunculan MBS pada tahun 1994 ini bersamaan dengan ratifikasi pemerintah Indonesia terhadap Agreement Establising the World Trade Organization melalui penerbitan Undang-Undang No. 7 Tahun 1994 (Setiawan, 2006). Dan wacana industrialisasi jasa pendidikan pada masa itu telah berkembang menjadi implementasi yang menghasilkan keuntungan berlipat bagi negara-negara maju yang menjadi anggota WTO. Hingga pada akhirnya perjuangan Amerika Serikat, Australia, dan Inggris, dalam perundingan GATS tahun 2003 untuk memasukkan jasa pendidikan sebagai barang dagangan menjadi keputusan resmi WTO dalam perundingan tersebut (Setiawan, 2006). Implikasinya, pemerintah Indonesia yang juga telah menjadi anggota WTO, mau tidak mau harus menjalankan keputusan mengenai liberalisasi pendidikan. Komitmen pemerintah atas keputusan WTO tersebut segera dituangkan dalam UU Sisdiknas yang dirampungkan pada tahun yang sama, salah satunya dalam pasal 51 ayat 1, yang menjadi dasar hukum pelaksanaan MBS. Memang dalam MBS, sekolah dituntut untuk membuka ruang partisipasi masyarakat, namun partisipasi disini ternyata hanya diartikan secara sempit, yaitu berupa kemitraan antara pemerintah dan swasta dalam hal pembiayaan sekolah (Irawan, dkk, 2006). Poin inilah yang akhirnya memperkuat alasan bahwa pemerintah memang cukup berkomitmen dengan keputusan WTO dalam hal liberalisasi pendidikan, sebabnya, walaupun secara konseptual MBS memang terkesan begitu ‘membela’ masyarakat namun sebenarnya lambat laun pemerintah berusaha melepaskan tanggung jawabnya dalam hal pembiayaan pendidikan secara penuh dengan sedikit demi sedikit mengalihkan pembiayaannya pada masyarakat yang notabene memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan secara gratis tanpa menanggung biaya sepeser pun (UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas pasal 11 ayat 2). Namun, permasalahan liberalisasi pendidikan yang terkait dengan konstelasi politik pendidikan negara-negara maju terhadap Indonesia tidak akan dibahas secara mendalam dalam makalah ini.

Singkat cerita, untuk mempercepat implementasi MBS (liberalisasi pendidikan) di Indonesia, negara-negara maju yang berkepentingan terhadap perluasan industrialisasi jasa pendidikan di Indonesia akhirnya memberikan bantuan dana berupa hibah dan utang melalui proyek-proyek yang dikelola oleh lembaga-lembaga donor asing. Sehingga, model implementasi MBS yang diterapkan oleh sekolah-sekolah yang ada di Indonesia pun akhirnya berbeda-beda satu sama lain. Sebab, sekolah yang bersangkutan menerapkan model implementasi MBS yang diinginkan oleh lembaga-lembaga donor asing yang membiayai sekolah tersebut. Cukup beralasan memang, karena hingga saat ini pun belum ada gambaran konsep implementasi MBS yang jelas dari pemerintah, dalam hal ini yang seharusnya dikeluarkan oleh Depdiknas (Irawan, dkk, 2004).

Pada penyelenggaraan pendidikan tingkat dasar, konsep MBS yang banyak diterapkan oleh sekolah adalah konsep MBS yang digulirkan oleh proyek UNESCO dan UNICEF. Sementara pada penyelenggaraan pendidikan tingkat menengah, yaitu pada SMP dan SMU, konsep yang digunakan adalah MPMBS (Manajemen Peningkatan Mutu Berbasis Sekolah) gubahan proyek ADB. Tujuan MBS dianggap lebih umum (Irawan, dkk, 2004), yaitu meningkatkan semua kinerja sekolah seperti mutu, efisiensi, inovasi, relevansi, pemerataan, dan akses pendidikan, dibandingkan dengan MPMBS yang lebih difokuskan pada peningkatan mutu dengan asumsi bahwa mutu pendidikan di Indonesia sangat memprihatinkan. Lembaga donor dan negara yang menggulirkan proyek implementasi MBS di Indonesia dengan total dana mencapai puluhan trilyun rupiah diantaranya adalah UNESCO, UNICEF, New Zealand Aid, The British Women’s Association, ADB, dan World Bank (Irawan, dkk, 2004).

Kegagalan dalam menentukan apa-apa yang harus dicapai sebelum menentukan bagaimana cara untuk mencapainya dipastikan akan menyia-nyiakan hal-hal yang sangat berharga, seperti waktu, sumber daya, dan juga akan berakibat fatal bagi peserta didik (Kaufman dan English, 1979). Dan kesia-siaan inilah yang akhirnya relatif banyak ditemui dalam implementasi MBS, sebab implementasi MBS hanya difokuskan pada pengadaan Komite Sekolah yang dianggap sebagai instrumen kunci implementasi MBS, bukan pada tujuan implementasi MBS yang semestinya, yaitu meningkatnya mutu pendidikan melalui demokratisasi pengelolaan sekolah. Hal ini terbukti dari pembuatan kebijakan pemberlakuan MBS yang berpola top down dan tidak partisipatif, bahkan disertai dengan ancaman tidak akan mendapatkan bantuan dari Dinas Pendidikan bila sekolah yang bersangkutan tidak mengimplementasikan MBS (Irawan, dkk, 2004). Padahal, cara terbaik dalam mempelajari demokrasi adalah dengan mengimplementasikan demokrasi itu sendiri. Demokrasi tidak akan dapat diimplementasikan dengan cara yang otoriter. Dan hal tersebut telah terbukti dengan relatif cukup banyak fakta yang memperlihatkan bahwa setelah bertahun-tahun kebijakan pemberlakuan MBS digulirkan, sekolah-sekolah yang ada di Indonesia tidak kunjung menunjukkan peningkatan mutu pendidikan melalui demokratisasi pengelolaan sekolah (Irawan, dkk, 2006). Pemerintah malah cenderung semakin otoriter dengan memberlakukan berbagai macam aturan hingga hal-hal teknis seperti jadwal rapat komite sekolah dan apa saja yang dapat dibahas oleh komite sekolah dan sekolah (Permendiknas No.19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan). Hal tersebut sangatlah ironis, mengingat alasan Depdiknas dibalik bergulirnya kebijakan MBS adalah untuk memberikan keleluasaan bagi sekolah dalam melakukan pengelolaan sekolah bersama masyarakat. Namun bila dicermati dari perspektif legal basis, akan sangat banyak ditemukan aturan-aturan yang kontradiktif satu sama lain, bahkan juga terjadi antar pasal dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Padahal peraturan perundang-undangan seharusnya menjadi dasar hukum yang dapat memberikan jaminan atas segala pelaksanaan kegiatan pendidikan, termasuk diantaranya implementasi MBS.

Sosialisasi kebijakan adalah salah satu aspek yang sangat penting, apalagi bila kebijakan tersebut bersifat top down dan tidak melibatkan partisipasi masyarakat secara luas dalam formulasinya. Hasil penelitian ICW mengenai kebijakan MBS di kota Jakarta, Garut, dan Solo (Irawan, dkk, 2004 & 2006) mengungkap fakta bahwa banyak sekali jumlah orang tua peserta didik maupun para pendidik dan tenaga kependidikan yang tidak mengetahui konsep MBS secara pasti. Data tersebut juga didukung oleh hasil penelitian MCW di kota Malang (MCW, 2006) yang juga menguraikan fakta yang tidak jauh berbeda. Hal ini membuktikan bahwa kebijakan MBS tidak disosialisasikan oleh pemerintah dengan serius. Padahal keberhasilan penerapan MBS sangat ditentukan oleh adanya konsistensi dan komitmen yang tinggi dari seluruh pelaku termasuk pemerintah sebagai penyelenggara pendidikan nasional (Rumtini dan Jiyono dalam MCW, 2006). Indikator keberhasilan implementasi MBS diantaranya dapat terlihat dari peningkatan partisipasi masyarakat terutama orang tua peserta didik dalam penyelenggaraan pengelolaan sekolah. Bila orang tua peserta didik tidak mengetahui secara pasti mengenai kebijakan MBS, maka dapat dipastikan bahwa partisipasi mereka tidak akan terjadi (Irawan, dkk, 2006). Berikut ini adalah fakta-fakta lainnya yang terungkap melalui hasil penelitian (MCW, 2006):

1. Kurangnya pemahaman kepala sekolah dan guru untuk terlibat dalam pengembangan MBS disebabkan karena mereka sudah terbiasa dan terpola dengan model manajemen lama yang begitu sentralistis, walaupun mereka sudah mendapatkan petunjuk mengenai implementasi MBS secara teknis. Selain itu, guru juga kurang memahami bagaimana melakukan sinergi antara MBS dengan proses belajar mengajar di kelas.
2. Penerapan MBS dipahami oleh kepala sekolah hanya sebatas membentuk Komite Sekolah sebagai pengganti BP3 dan dijadikan alat untuk melegitimasi mengambil keputusan untuk menaikkan SPP dan iuran lainnya seperti sumbangan pembangunan gapura, pagar, gedung sekolah, dan lain-lain. Demikian pula dengan perencanaan anggaran sekolah yang pembuatannya masih dimonopoli oleh kepala sekolah, pelibatan komite sekolah hanya sebatas ‘cap stempel’ belaka. Sejalan dengan hasil penelitian Koalisi Pendidikan Kota Bandung (KPKB) dan Bandung Institute of Governance Studies (BIGS) menunjukkan fakta 3 model hubungan Komite Sekolah dengan sekolah yaitu: (1) sekolah mengkooptasi Komite Sekolah, (2) Komite Sekolah mengkooptasi sekolah, (3) dan keduanya saling mengkooptasi (Kompas, 2007). Padahal seharusnya, sekolah dan Komite Sekolah berjalan sejajar dan saling menunjang satu sama lain demi terselenggaranya iklim pendidikan yang mendukung proses pendidikan siswa.

Hasil penelitian MCW di kota Malang tersebut faktanya tidak jauh berbeda dengan hasil penelitian ICW di kota Jakarta, Garut, dan Solo (Irawan, dkk, 2004 & 2006), yang memang menunjukkan sebuah keseragaman pola dalam kegagalan implementasi MBS. Penyebab utama dari kegagalan tersebut diantaranya adalah sebagai berikut:

1. Kultur masyarakat yang masih begitu feodalistik sehingga sulit untuk menjalankan aktifitas yang demokratis;

Masyarakat yang telah terbunuh karakter dan kreatifitasnya selama puluhan tahun dibawah rezim yang otoriter, tentu akan mengalami kesulitan yang teramat sangat bila diberikan keleluasaan dalam bertindak sebab mereka telah terbiasa hidup dibawah panduan. Partisipasi masyarakat di Indonesia masih tergolong rendah, sehingga tidak mengherankan bila Jack Snyder menggolongkan Indonesia dalam kategori ‘negara yang sedang menuju demokrasi’ (Irawan, dkk, 2004).

1. Hegemoni pemerintah terhadap segala bentuk kehidupan masyarakat;

Prinsip MBS memang pengelolaan pendidikan secara desentralisasi, namun kenyataannya jumlah peraturan perundang-undangan yang mengatur pengelolaan pendidikan hingga bagian paling teknis sekalipun, justru semakin banyak, yang jelas-jelas sangat bertentangan dengan konsep MBS, misalnya antara UU No.20 Tahun 2003 tentang Sisdiknas dengan PP No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan dan Permendiknas No.19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan.

1. Intervensi pihak asing dalam kehidupan berbangsa dan bernegara yang penuh dengan kepentingan;

Penerbitan kebijakan pendidikan berbasis ketersediaan proyek lembaga donor asing sudah bukan temuan baru lagi. Fakta mengungkapkan puluhan proyek MBS yang digulirkan oleh lembaga donor asing ternyata dana totalnya mencapai puluhan trilyun rupiah. Implementasi MBS berbasis proyek menyebabkan penerapan MBS yang asal-asalan dan ala kadarnya, hanya sekedar untuk memenuhi target laporan (Irawan, dkk, 2004).

1. Pemerintah tidak memiliki filsafat pendidikan yang jelas dalam gerak langkah pembangunan pendidikan di Indonesia;

Hal ini menyebabkan kesimpangsiuran aktifitas yang terjadi di dunia pendidikan karena tidak adanya sinergi antara pemerintah dengan masyarakat (Tilaar, 2004). Wacana ‘ganti menteri ganti kebijakan’ sudah tak asing lagi bagi masyarakat, sebab kebanyakan elit pemerintah hanya memikirkan kepentingan dirinya semata. Cukup banyak kebijakan yang diberlakukan pemerintah dibuat tanpa melakukan asesmen secara akurat terhadap kebutuhan masyarakat. Terlebih lagi, pengambilan keputusan dalam proses pembuatan kebijakan masih bersifat top down dan bukannya partisipatif dengan melibatkan masyarakat sebagai sasaran kebijakan.

Cukup banyak fakta yang memperjelas inkonsistensi dan komitmen setengah hati dari pemerintah akan kebijakan pemberlakukan MBS. Sebab secara logika, implementasi kebijakan ini tentunya akan semakin mempersempit ruang hegemoni pemerintah terhadap lembaga pendidikan. Namun, setelah dikaji secara mendalam, ternyata banyak sekali keuntungan yang didapat oleh pemerintah dari pemberlakuan kebijakan MBS. Keuntungan pertama adalah pengubahan image pemerintah di mata masyarakat yang seolah-olah pemerintah mulai memberikan keleluasaan bagi masyarakat dalam hal pengelolaan penyelenggaraan pendidikan walaupun kenyataannya hal tersebut tidak demikian adanya. Secara eksplisit pemerintah mengobral kata ‘desentralisasi dan otonomi pendidikan’ dalam berbagai peraturan perundang-undangan, namun secara implisit telah semakin mempersempit ruang gerak masyarakat dan sekolah dalam pengelolaan penyelenggaraan pendidikan melalui peraturan perundang-undangan. Keuntungan kedua adalah kucuran dana yang berlimpah dari berbagai proyek implementasi MBS dari berbagai lembaga donor asing, yang transparansi penggunaannya tidak tersosialisasikan secara luas sehingga malah membuka kesempatan untuk berperilaku korup. Cukup tidak masuk akal bila sekolah masih tetap saja menarik berbagai macam pungutan liar pada orang tua peserta didik padahal sekolah sebenarnya telah mendapatkan dana dari lembaga donor asing melalui pemerintah, dalam hal ini Depdiknas. Berulang kali memang, Depdiknas menempati peringkat pertama dalam jajaran departemen terkorup (Prasetyo, 2006). Tidak hanya dua keuntungan itu saja yang didapatkan oleh pemerintah terkait dengan diberlakukannya kebijakan MBS, melainkan lebih dari itu. Memang sangatlah tidak patut kiranya, ada orang-orang yang ‘hidup dari pendidikan’ dan bukannya ‘hidup untuk pendidikan’ (Irawan, dkk, 2004).

Secara peristilahan, asesmen kebutuhan, pengambilan keputusan, dan MBS (Manajemen Berbasis Sekolah), memiliki hubungan kekerabatan yang cukup dekat. Asesmen kebutuhan didefinisikan sebagai prosedur yang sistematis dalam melakukan setting prioritas dan pengambilan keputusan mengenai pengalokasian sumber daya dan juga mengenai kegiatan-kegiatan tertentu (Witkin, 1984). Dalam definisi tersebut, pengambilan keputusan merupakan salah satu aktifitas yang berada dalam ruang lingkup asesmen kebutuhan. Namun, proses pengambilan keputusan juga membutuhkan penilaian terkait dengan strategi-strategi alternatif yang ada (Cunningham, 1982). Sebab, secara definitif, pengambilan keputusan diartikan sebagai identifikasi suatu alternatif yang terlihat paling cocok dibandingkan dengan alternatif-alternatif lainnya (Cunningham, 1982). Dan asesmen kebutuhan termasuk didalamnya proses pengambilan keputusan, merupakan aktifitas-aktifitas yang terjadi dalam model pengelolaan penyelenggaraan pendidikan tingkat dasar dan menengah yang disebut dengan MBS.

MBS sendiri sebenarnya hanyalah sebagai alat untuk mencapai tujuan, jadi yang dipentingkan adalah bagaimana melalui MBS tersebut tujuan yang diinginkan dapat tercapai. Sehingga indikator ketercapaian MBS yang disyaratkan oleh Depdiknas seharusnya bukan ‘ada atau tidaknya’ Komite Sekolah, melainkan sejauh mana partisipasi masyarakat dalam pengelolaan pendidikan secara demokratis dapat meningkatkan mutu pendidikan itu sendiri.

Permasalahan yang banyak ditemui sebenarnya tidak terletak pada MBS secara konseptual sebab konsepnya memang sudah cukup baik. Bila dilihat dari kacamata asesmen kebutuhan, secara normatif implementasi MBS memang diperlukan, namun dengan status Indonesia yang masih NSMD (Negara Sedang Menuju Demokrasi), tentunya hal ini sangat sulit. Menghadapi mentalitas oknum-oknum pemerintah yang selalu membawa kepentingan individu dan golongan dalam menjalankan kewajibannya, tidaklah mudah. MBS sebagai produk kebijakan pendidikan yang digulirkan oleh pemerintah tentunya sangat sarat dengan kepentingan sebab kebijakan adalah keputusan politik. Dan hal yang paling utama harus dilakukan sebelum mengimplementasikan MBS adalah pembenahan moralitas individu. Demi tercapainya tujuan MBS yaitu peningkatan mutu pendidikan melalui demokratisasi pengelolaan sekolah, maka seluruh pihak yang terkait, terutama pemerintah, Depdiknas, dan sekolah harus memurnikan niat mereka. Masyarakat pun juga harus lebih peduli dengan selalu memantau kinerja mereka secara proaktif, misalnya dengan bantuan lembaga-lembaga swadaya masyarakat yang sudah terpercaya. Selain itu, masyarakat juga harus secara aktif ikut serta dalam mencari segala bentuk informasi sebab informasi yang akurat dan terpercaya tidak akan mudah diakses dan tidak akan datang dengan sendirinya.



Sumber Pustaka:

Cunningham, WG. 1982. Systematic Planning for Educational Change. USA:

Mayfield Publishing Company.

Irawan, Ade, dkk. 2004. Mendagangkan Sekolah: Studi Kebijakan Manajemen

Berbasis Sekolah Di DKI Jakarta. Jakarta: Indonesia Corruption Watch.

Irawan, Ade, dkk. 2006. Buruk Wajah Pendidikan Dasar: Riset Kepuasan Warga

Atas Pelayanan Pendidikan Dasar Di Jakarta, Garut, Solo. Jakarta: ICW.

Kaufman, R., dan English, FW. 1979. Needs Assessment: Concept and

Aplication. New Jersey: Educational Technology Publications.

Kompas. 2007. Fungsi Komite Sekolah Belum Optimal. Kompas, Selasa, 23

Januari 2007.

Malang Corruption Watch. 2006. Hasil Riset MCW: Tentang Pelayanan Publik

(Kesehatan, Pendidikan, Administrasi dasar) Di Kota Malang. Diakses tanggal 25 April 2008 dari http://www.mcw-malang.org/HASIL%20RISET %20MCW.doc

PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan dan penjelasan.

Permendiknas No. 19 Tahun 2007 tentang Standar Pengelolaan Pendidikan.

Poerbawakatja, Soegarda. 1970. Pendidikan Dalam Alam Indonesia Merdeka.

Jakarta: Gunung Agung.

Prasetyo, Eko. 2006. Orang Miskin Dilarang Sekolah. Cetakan Ke-4. Yogyakarta:

Resist Book.



Soetikno, Wendie Razif. 2007. Salah Kaprah atau Ketidakpedulian? Diakses dari

http://sukainternet.wordpress.com/2007/10/18/manajemen-kurikulum-atau-manajemen-sekolah/ pada tanggal 5 Januari 2008.

Steenbrink, Karel A. 1986 . Pesantren, Madrasah, Sekolah: Pendidikan Islam

Dalam Kurun Moderen. Terjemahan. Jakarta: LP3ES.

Supriadi, Dedi, dan Hoogenboom, Ireene. 2003. Guru di Indonesia Dari Masa Ke

Masa. Dalam Supriadi, Dedi (Ed.). 2003. Guru di Indonesia: Pendidikan, Pelatihan, dan Perjuangannya sejak Zaman Kolonial hingga Era Reformasi. Jakarta: Depdikbud.

Tilaar, HAR. 2004. Standarisasi Nasional Pendidikan: Suatu Tinjauan Kritis.

Bandung: Rineka Cipta.

UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.

Witkin, BR. 1984. Assessing Needs in Educational and Social Programs. USA: Jossey Bass Publishers.

Comments

Popular posts from this blog

Makalah pembiayaan pendidikan

Fungsi Gelombang dan Probabilitas

contoh soal persamaan gelombang